Rabu, 01 Juli 2009

PENETAPAN STATUS PENCEMARAN LAUT BERBASIS SEDIMEN : Suatu Paradigma baru dalam penetapan status pencemaran laut di Indonesia. Oleh : Chaeruddin

Polemik berkepanjangan mengenai status pencemaran Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara memberi pencerahan kepada kita betapa pentingnya menetapkan suatu metode baku dalam penetapan status pencemaran laut. Sampai saat ini di negara maritim Republik Indonesia belum ada satu produk hukum yang mengatur dengan jelas mengenai tata cara penetapan status pencemaran laut atau perairan lainnya yang bersifat dinamis seperti air laut. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku air laut hanya mengatur mengenai batas ambang yang diperbolehkan bagi keperluan pelabuhan, wisata bahari dan biota laut, sehingga dari surat keputusan ini hanya dikenal istilah mutu air laut dibawah atau diatas ambang baku mutu.
 Penggunaan air laut sebagai acuan dalam status pencemaran laut perlu dikritisi oleh karena paling tidak memiliki 2 kelemahan. Kelemahan pertama adalah air laut bersifat dinamis dan senantiasa bergerak sesuai dengan arah arus dan gelombang di laut dengan kecepatan yang sangat bervariasi. Pergerakan massa air laut ini dapat mencapai jarak yang sangat jauh hingga berkilo-kilometer bahkan ratusan hingga ribuan kilometer. Dengan demikian dapat saja terjadi air laut yang diambil pada suatu lokasi di laut tidak berasal dari lokasi itu, melainkan dari tempat lain yang jaraknya sangat jauh. Dengan demikian contoh air laut yang diambil tidak mewakili keadaan lokasi dimaksud. Kelemahan kedua adalah konsentrasi berbagai elemen yang terdapat di dalam air laut biasanya sangat kecil, sehingga sulit dideteksi oleh alat dan kemudian menyulitkan penafsiran data yang diperoleh. Konsentrasi elemen yang tidak terdeteksi alat tidak selalu mengandung pengertian bahwa elemen tersebut tidak terdapat dalam air laut. Pengertian yang mungkin lebih tepat adalah elemen tersebut tetap ada, namun konsentrasinya di dalam air laut tidak dapat dideteksi oleh alat.
 Kedua kelemahan yang disebutkan cukup memberi alasan untuk mencari acuan alternatif dalam penetapan status pencemaran laut. Dalam hal ini penggunaan sedimen sebagai acuan dianggap lebih tepat, oleh karena sedimen relatif diam tidak bergerak seperti air laut, sehingga lebih refresentatif dan mewakili keadaan lokasi darimana sedimen tersebut diperoleh. Menurut Kamus Webster’s suntingan Neufeldt (1988) yang dimaksud dengan sedimen adalah bahan/materi yang mengendap di dasar cairan atau bahan yang diendapkan oleh angin atau air. Sementara Kamus Chamber (1972) dalam Selley (1988) menyatakan sedimen sebagai segala sesuatu yang terdapat di dasar cairan, kerukan atau deposit. Sedimen merupakan “adsorben alami” yang mampu mengikat senyawa-senyawa organik dan anorganik dalam konsentrasi tinggi. Pada kebanyakan ekosistem perairan, sedimen mengandung berbagai jenis kontaminan dalam konsentrasi yang tinggi, tergantung pada sifat-sifat adsorpsi dan desorpsi sedimen.
Tapi bukankah sedimen juga bergerak? Bukankah sedimen dapat mengalami transpor sedimen yang sejajar pantai (long shore transport) yang dilakukan oleh arus laut yang bergerak sejajar pantai dan transpor sedimen tegak lurus pantai (drift transport) yang dilakukan oleh arus laut yang bergerak tegak lurus pantai (drift current)? Dalam hal ini yang dimaksud dengan sedimen yang relatif diam itu sedimen yang bagaimana? Precht dan Huettel (2003) dalam tulisannya di Jurnal Limnology and Oceanography Vol.48 (4) menyatakan bahwa resuspensi sedimen dapat terjadi pada kedalaman kurang dari separuh panjang gelombang (λ), sehingga dengan mengambil contoh sedimen dari kedalaman lebih dalam dari kedalaman tersebut dapat diperoleh contoh sedimen yang refresentatif, karena dapat dipastikan bahwa contoh sedimen tersebut tidak mengalami resuspensi. Transpor sedimen di laut selalu didahului dengan resuspensi sedimen, yang menyebabkan pengadukan sedimen, sehingga sedimen yang telah mengendap di dasar laut terangkat ke atas. Sedimen yang terangkat ke atas kemudian akan diangkut oleh arus laut menuju tempat pengendapan yang baru pada perairan yang relatif tenang. Disamping itu konsentrasi berbagai elemen di dalam sedimen pada umumnya lebih tinggi dibanding konsentrasinya di dalam air. Konsentrasi logam dalam sedimen biasanya mencapai 3 – 5 kali lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam kolom air di atasnya (Bryan dan Langston, 1992). Oleh karena itu identifikasi berbagai jenis logam yang berasal dari berbagai sumber pada kawasan pesisir, dapat diidentifikasi lebih cepat dengan menganalisis sedimen dibanding kuantifikasi konsentrasi logam yang terdapat dalam air (Forster dan Wittmann, 1981).

 Setelah disepakati bahwa sedimen lebih representatif dibanding air laut, timbul pertanyaan bagaimana cara menetapkan status pencemaran laut berbasis sedimen? Perlukah disusun baku mutu sedimen seperti halnya pada air laut? Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini perlu diperiksa kembali keunggulan dan kelemahan penggunaan baku mutu air laut.
 Baku mutu air laut pada prinsipnya tidak dimaksudkan sebagai acuan penetapan status pencemaran, namun dapat digunakan sebagai pedoman (guidelines) untuk menilai dengan cepat keadaan suatu perairan (rapid assesment). Dengan demikian dapat dimengerti jika baku mutu tersebut tidak dapat digunakan untuk penetapan status pencemaran. Penulis mencatat beberapa kelemahan yang terdapat dalam sistem baku mutu. Pertama baku mutu tidak dapat memberikan kejelasan mengenai efek yang ditimbulkan oleh suatu elemen yang telah melampaui baku mutu. Misalnya dikatakan bahwa konsentrasi logam raksa (Hg) dalam air laut telah melampaui baku mutu, tidak serta merta mengandung pengertian bahwa konsentrasi raksa tersebut dapat menyebabkan kematian atau mengganggu aktivitas reproduksi biota laut. Kelemahan berikutnya adalah sistem baku mutu bersifat parsial dan tidak mengukur resultante efek atau efek netto yang ditimbulkan oleh suatu polutan yang terdapat di dalam air. Pada kasus elemen raksa, setelah masuk ke lingkungan perairan elemen raksa tersebut tidak lagi berdiri sendiri dan dapat bersenyawa dengan elemen lain (logam atau non-logam) serta berinteraksi dengan faktor lingkungan (salinitas, temperatur, pH) yang dapat menimbulkan efek racun yang saling menggandakan (sinergis), tetap (aditif) atau meniadakan/mengeliminasi (antagonis). Kelemahan lainnya baku mutu yang digunakan di Indonesia lebih banyak diadopsi dari negara maju seperti yang berlaku di Amerika Serikat, Kanada atau Inggris, dengan beberapa penyesuaian. Baku mutu di berbagai negara maju tersebut disusun berdasarkan hasil pengujian toksisitas berbagai elemen terhadap berbagai jenis biota laut subtropis yang banyak dijumpai di berbagai negara tersebut. Respon berbagai biota laut tersebut terhadap berbagai elemen atau bahan kimia tentu berbeda jika kondisi uji toksisitas dilakukan pada kondisi tropis atau respon yang dihasilkan akan berbeda jika dalam pengujian berbagai toksisitas elemen digunakan biota yang berasal dari perairan tropis seperti Indonesia. Sejatinya baku mutu disusun berdasarkan hasil uji toksisitas terhadap biota uji yang berasal dari kawasan dimana baku mutu itu akan diberlakukan, sehingga betul-betul mencerminkan efek suatu elemen atau bahan kimia terhadap biota uji lokal. Kelemahan berikutnya adalah penggunaan baku mutu air laut dalam berbagai laporan keadaan lingkungan sebelum dan setelah berjalannya suatu kegiatan sebagaimana dituangkan dalam bentuk laporan upaya pengelolan lingkungan (UKL), laporan upaya pemantauan lingkungan (UPL) dan laporan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) selalu disertai dengan penyajian keadaan biota laut berdasarkan indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) kemudian kadang terjadi berdasarkan nilai indeks keanekaragaman tersebut ditetapkan status pencemaran laut untuk menjustifikasi hasil tabulasi peubah mutu air dibandingkan dengan baku mutu. Ada 3 kriteria yang sering digunakan dalam penetapan status pencemaran berdasarkan nilai indeks keaneka-ragaman yaitu : indeks keanekaragaman <> 3 digolongkan tercemar ringan. Penggunaan indeks ini dapat mengalami bias, oleh karena terjadinya perubahan struktur komunitas biota laut dapat saja terjadi oleh faktor non-polutan seperti terjadinya pemangsaan (predasi), persaingan (kompetisi) atau berjangkitnya penyakit. Oleh karena itu penggunaan indeks keanekaragaman harus diperiksa dengan menggunakan uji toksisitas untuk memastikan bahwa perubahan struktur komunitas terjadi memang oleh karena adanya elemen yang meracuni biota laut yang terdapat di dalam perairan. Adanya korelasi yang kuat antara perubahan (baca penurunan) indeks keanekaragaman dengan meningkatnya daya racun sedimen akan memperkuat argumentasi bahwa perubahan struktur komunitas biota laut tersebut memang disebabkan oleh elemen yang terkandung dalam sedimen.
 Berbagai uraian diatas memberi gambaran kepada kita bahwa penerapan sistem baku mutu sebaiknya tidak dilakukan pada sedimen, apalagi jika diingat bahwa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sedimen lebih kompleks daripada reaksi kimia yang terjadi di dalam air. Ukuran butiran sedimen, potensial redoks yang menggambarkan status oksidasi suatu elemen di dalam sedimen, aktifitas biota yang hidup pada sedimen (bioturbasi) merupakan beberapa peubah/variabel yang dapat mengubah bentuk, konsentrasi dan toksisitas elemen di dalam sedimen, disamping peubah lainnya seperti salinitas, temperatur, derajat keasaman (pH) dan kandungan oksigen.
 Guna penilaian mutu sedimen secara cepat (rapid assesment) dapat digunakan pedoman (gudelines) yang disusun berdasarkan kajian daya racun (toksisitas) berbagai elemen yang terdeteksi dalam sedimen sebagaimana telah berkembang di negara-negara Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Namun sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa sebaiknya pedoman tersebut bukan merupakan adopsi, tetapi betul-betul disusun berdasarkan data-data lokal.
 Di Amerika Serikat penyusunan pedoman dilakukan berdasarkan kajian daya racun sedimen selama bertahun-tahun melalui berbagai proyek seperti NST (National Status and Trends) Program yang dilakukan oleh NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dengan tujuan untuk menetapkan konsentrasi aman (safe concentration) berbagai elemen yang terdapat di dalam sedimen terhadap biota laut, terutama hewan yang hidup di sekitar atau di dalam sedimen (bentos). Hasilnya disajikan dalam bentuk data ERL (Effect Range Low) dan ERM (Effect Range Median). ERL dan ERM disusun berdasarkan daya racun mematikan (lethal toxicity) elemen di dalam sedimen terhadap amphipoda, sejenis udang-udangan renik yang hidup di sedimen. Dibawah konsentrasi ERL suatu elemen tidak menimbulkan efek, sementara diatas konsentrasi ERM suatu elemen menimbulkan efek terhadap bentos. ERL dan ERM diperoleh dari basis data yang berhasil dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dihitung berdasarkan jarak persentil. ERL terdapat pada persentil kesepuluh sementara ERM terdapat pada persentil kelimapuluh. Sebagai contoh disajikan data hasil perhitungan elemen phenanthrena yang terdapat dalam minyak bumi. Gambar 1 menunjukkan bahwa phenanthrena memiliki konsentrasi ERL sebesar 240 part per billion (ppb) berat kering sedimen dan ERM sebesar 1500 ppb berat kering sedimen. Artinya pada konsentrasi <> 1500 ppb. Penggunaan pedoman berdasarkan nilai ERL dan ERM tidak dapat digunakan untuk menjustifikasi status pencemaran laut. Untuk itu perlu dikembangkan suatu metode yang lebih komprehensif dan dapat digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi status pencemaran.
 Dilhami oleh metode Sediment Quality Triad yang dikembangkan oleh Peter Chapman sejak Tahun 1989, penulis mencoba mengembangkan suatu metode penetapan status pencemaran laut berbasis sedimen yang diberi nama Analisis Sedimen Terpadu (Integrated Analysis of Sediment). Metode ini menggunakan empat komponen analisis yaitu : kimia sedimen, struktur komunitas hewan makrobentos, uji toksisitas dan uji bioakumulasi. Komponen kimia sedimen mengukur konsentrasi berbagai elemen di dalam sedimen. Komponen struktur komunitas mengukur kelimpahan, keanekaragaman dan komposisi jenis biota bentik yang terdapat dalam sedimen. Komponen uji toksisitas mengukur daya racun netto berbagai elemen yang terdapat di dalam sedimen, sedang komponen uji bioakumulasi mengukur kemungkinan akumulasi berbagai elemen di dalam sedimen dalam jaringan lunak biota bentos, karena bisa saja elemen tidak bersifat toksik dalam waktu singkat sebelum terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup namun menjadi toksik dalam jangka waktu lama setelah terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup.
  
Gambar 1. Konsentrasi ERL dan ERM phenanthrena (NOAA, 1999).
 Penetapan status pencemaran dilakukan dengan cara membandingkan keempat komponen analisis terpadu antara kawasan yang diduga telah tercemar atau kawasan yang akan ditetapkan status pencemarannya dengan kawasan yang diduga belum tercemar (kontrol) melalui pengujian statistik, sehingga diperoleh kemungkinan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Hasil yang diperoleh sebagaimana disajikan pada Tabel 1 dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria status pencemaran sedimen berdasarkan hasil metode analisis terpadu sedimen
No. 
Konsentrasi Polutan Struktur komunitas bentos 
Toksisitas 
Bioakumulasi
1. + + + +
2. + + + -
3 + + - -
4. + - - -
5. - - - -
Keterangan : + = berbeda nyata dengan stasiun kontrol, - = tidak berbeda nyata dengan stasiun kontrol
• Keadaan nomor 1 : konsentrasi elemen di dalam sedimen kawasan tercemar berbeda nyata dengan kawasan kontrol, menyebabkan perubahan struktur komunitas biota, bersifat toksik dan mengalami akumulasi dalam tubuh biota
• Keadaan nomor 2 : konsentrasi elemen di dalam sedimen kawasan tercemar berbeda nyata dengan kawasan kontrol, menyebabkan perubahan struktur komunitas biota, bersifat toksik namun tidak terakumulasi dalam tubuh biota atau toksisitasnya hanya bersifat sesaat.
• Keadaan nomor 3 : konsentrasi elemen di dalam sedimen kawasan tercemar berbeda nyata dengan kawasan kontrol dan menyebabkan perubahan struktur komu-nitas biota, namun tidak bersifat toksik dan tidak terakumulasi dalam tubuh biota.
• Keadaan nomor 4 : konsentrasi elemen di dalam sedimen kawasan tercemar berbeda nyata dengan kawasan kontrol namun tidak menyebabkan perubahan struktur komunitas biota, tidak bersifat toksik dan tidak mengalami akumulasi dalam tubuh biota
• Keadaan nomor 5 : konsentrasi elemen di dalam sedimen kawasan tercemar tidak berbeda nyata atau sama saja dengan dengan kawasan kontrol, tidak menyebabkan perubahan struktur komunitas biota, tidak bersifat toksik dan tidak terakumulasi dalam tubuh biota
 IMO/FAO/UNESCO/WMO/WHO/IAEA/UNEP Joint Group of Experts on the Scientifics Aspect of Marine Pollution (GESAMP) mendefinisikan pencemaran laut sebagai introduksi oleh manusia, langsung atau tidak langsung, bahan atau energi ke dalam lingkungan laut (termasuk estuari) yang menyebabkan berbagai gangguan yang membahayakan sumberdaya hayati, berisiko terhadap kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut termasuk perikanan, mengurangi mutu pemanfaatan air laut dan mengurangi kenyamanan. Sementara Bacci (1994) mendefiniskan kontaminasi lingkungan sebagai kegiatan manusia yang dapat merubah berbagai karakter/sifat keadaan lingkungan atau ketersediaan (availability) dan mutu (quality) sumberdaya dalam suatu ruang dan rentang waktu tertentu. Kontaminasi lingkungan tidak harus menyebabkan kerusakan terhadap organisme hidup. Sesuai dengan batasan-batasan ini, kelima keadaan diatas dapat diklasifikasi status pencemarannya menjadi belum terkontaminasi (keadaan nomor 5), terkontaminasi (keadaan nomor 4) dan tercemar (keadaan nomor 3, 2 dan 1). Guna penetapan status pencemaran pada keadaan nomor 3, 2 dan 1 penulis mengembangkan suatu indeks pencemaran sedimen dengan memodifikasi indeks yang dikembangkan oleh Scottish Development Department (1976). Indeks pencemaran sedimen ditetapkan berdasarkan nilai pembobotan (weighting) dan pemeringkatan (rating) terhadap berbagai elemen yang terdapat di dalam sedimen. Sebagaimana diketahui bahwa dari sekian banyak elemen yang terdapat di dalam sedimen, hanya beberapa diantaranya yang memiliki konsentrasi yang cukup tinggi sebagai akibat adanya masukan (discharge) dalam konsentrasi tinggi atau terus menerus. Pada kasus Teluk Buyat elemen berkonsentrasi tinggi tersebut adalah Arsen, Raksa dan Sianida. Maksud dari pembobotan adalah memberikan bobot berbagai elemen di dalam sedimen berdasarkan konsentrasinya di dalam sedimen. Elemen berkonsentrasi tinggi akan memperoleh bobot tinggi pula.
 Pemeringkatan dilakukan untuk memberikan peringkat berbagai elemen yang terdapat di dalam sedimen berdasarkan daya racunnya terhadap biota laut. Untuk itu dalam pemeringkatan digunakan kriteria nilai ERL dan ERM yang dikeluarkan NOAA (1999) sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Dengan demikian indeks pencemaran sedimen disusun berdasarkan konsentrasi dan daya toksisitas berbagai elemen yang terdapat di dalam sedimen.
 Tabel 2. Kriteria peringkat elemen logam
Peringkat
Mutu Sedimen Pb (μg/kg berat kering)
 Cd (μg/kg berat kering) Zn (μg/kg berat kering))
 Ni (μg/kg berat kering) Cu (μg/kg berat kering)
1 <46.7 <1.2 <150 <20.9 <34
2 46.73 103.84 160.95 >218 >9.60 >410 >51.6 >270
 Sumber : NOAA (1999)
Hasil uji coba penggunaan indeks pencemaran sedimen untuk menilai tingkat pencemaran laut di Estuari Wakak-Plumbon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah menunjukkan bahwa indeks ini dapat digunakan untuk menetapkan status pencemaran laut pada kawasan tersebut, karena indeks yang diperoleh memiliki korelasi yang cukup kuat dengan perubahan struktur komunitas hewan makrobentos dan daya racun sedimen. Indeks pencemaran sedimen berkorelasi negatif dengan indeks keanekaragaman dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0.78 (p < 0.01). Artinya semakin tinggi indeks pencemaran (berarti tingkat pencemaran semakin berat), semakin rendah keanekaragaman biota makrobentos. Hanya makrobentos tertentu yang mampu beradaptasi dengan kondisi sedimen tercemar yang dapat hidup. Indeks pencemaran sedimen berkorelasi positif dengan persentase kerang darah yang gagal membenamkan diri dalam sedimen dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.91 (p < 0.01). Adanya korelasi antara indeks pencemaran sedimen dengan kegagalan kerang darah membenamkan diri dalam sedimen menunjukkan bahwa indeks pencemaran sedimen dapat digunakan untuk menggambarkan status taraf toksisitas ex situ sedimen. Kegagalan biota bentos seperti kerang darah dan amphipoda dalam membenamkan diri dalam sedimen telah digunakan secara luas sebagai metode baku dalam uji toksisitas sedimen (Chapman et al. 1986, Chapman et al. 1996, del Valls et al. 1999, Shin and Lam, 2001).
Berdasarkan berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan analisis terpadu sedimen merupakan pilihan yang paling tepat dalam mengevaluasi mutu dan status pencemaran laut, oleh karena analisis terpadu sedimen merupakan analisis yang mengintegrasikan pendekatan kimia, bioekologi dan toksikologi secara terpadu. Meskipun metode ini relatif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama dari metode konvensional yang digunakan selama ini di Indonesia, namun hal tersebut dapat dikompensasi dengan tingkat akurasi data yang diperoleh.